Back to soul, to be writer!
Oleh. Iqbal Themi*
Banyak motivasi orang mengapa
harus menulis. Mulai dari sekedar beraktualisasi hingga yang berharap tambahan
materi. Masing-masing penulis tentu punya "value" dalam membuat
tulisannya. “Value” penulis dalam menulis inilah yang menjadi “role model” secara tidak langsung,
bagaimana sebuah tulisan dirampungkan dengan ragam pendekatan atau gaya
bahasanya. Tidah hanya terbatas disitu, target pembaca yang dibidik juga
menjadi pertimbangan penting bagi seorang penulis.
Seseorang yang ingin menjadi Novelis, tentu berbeda gaya bahasa kepenulisannya dengan seorang yang menisbatkan diri sebagai Essais. Pun begitu penulis yang terbiasa menulis buku non fiksi akan berbeda sekali “rasa” bahasanya dengan penulis di jurnal-jurnal ilmiah akademik. Begitu pun dengan pembacanya, masing-masing memiliki lokus pembaca tersendiri. Maka penguasaan akan genre tulisan menjadi syarat tak tertulis bagi seorang pemula – seperti saya – jika hendak mengidentifikasi diri menjadi penulis apa dan bagaimana gaya bahasanya.
Seseorang yang ingin menjadi Novelis, tentu berbeda gaya bahasa kepenulisannya dengan seorang yang menisbatkan diri sebagai Essais. Pun begitu penulis yang terbiasa menulis buku non fiksi akan berbeda sekali “rasa” bahasanya dengan penulis di jurnal-jurnal ilmiah akademik. Begitu pun dengan pembacanya, masing-masing memiliki lokus pembaca tersendiri. Maka penguasaan akan genre tulisan menjadi syarat tak tertulis bagi seorang pemula – seperti saya – jika hendak mengidentifikasi diri menjadi penulis apa dan bagaimana gaya bahasanya.
Setidaknya itulah sekelumit
pencerahan berharga yang saya cermati dari penyampaian 2 (dua) pemateri hebat
dalam acara Stadiun General (SG) Pramuda angkatan 21 Forum Lingkar Pena (FLP)
DKI Jakarta; Dr. Ruli Nasrullah, M.Si atau yang akrab disapa Kang Arul dan Dr
(Kand) Yanuardi Syukur atau yang familiar dipanggil Kang Yankur. Kedua penulis ini
secara usia memang terbilang masih muda. Namun, wawasan dan kompetensi keduanya
dalam dunia kepenulisan layak dijadikan rujukan untuk didaras lamat-lamat
ilmunya.
Kang Arul misalnya, sebelum mulai
menulis, terlebih dahulu ia akan berkorespondensi dengan para penerbit. Dengan
demikian ia menjadi tahu tema buku apa yang prospek diterbitkan. Sehingga Kang
Arul pun biasanya cenderung hanya akan menulis buku yang "interested"
bagi penerbit. Sudah otomatis buku yang ditulis melalui proses seperti itu,
peluang diterbitkannya menjadi sangat besar. Karena telah sesuai
"selera" penerbit itu sendiri.
Tak hanya itu, dalam
menyelesaikan sebuah tulisan, Kang Arul termasuk tipe penulis yang tidak
terpaku bahwa menulis harus runut, dimulai dari halaman pembuka dan berakhir
pada halaman penutup. Menurutnya, menulis berarti menuliskan apapun ide yang
tengah hadir dan menari-nari di kepala. Sebab, “semakin lama berpikir soal “runutan”
bagian mana yang harus lebih dahulu ditulis, semakin lama pula sebuah tulisan
itu jadi, pesan Kang Arul.” Maka wajar saja, hingga saat ini Kang Arul telah
memiliki 350an judul buku. Lah wong ndak
banyak mikir nulisnya,..he he. Sebuah karya kepenulisan yang tak bisa
dibilang sedikit. Apalagi jika mengingat usia Kang Arul yang masih cukup muda.
Tapi lain Kang Arul, lain pula
dengan Kang Yankur, penulis berlatar belakang aktifis KAMMI ini cenderung
mengangkat tema-tema "problem solver", Darah sebagai aktivis nampak
sekali terasa dari tema-tema tulisan yang ia angkat. Hal ini tentu sejalan
dengan prinsif Kang Yankur sendiri, bahwa menulis berarti berdakwah. Menyampaikan
kebaikan-kebaikan pada khalayak lewat tulisan-tulisan inspiratif nan menggugah.
Maka apapun tema sejauh itu dirasa Kang Yankur ada kebermanfaatan yang harus
disebarluaskan, akan ia tulis. Seperti diantaranya, menuliskan buku biografi
seorang Kiyai Hafidz Qur'an dari Sulawesi.
Pada akhirnya, bagi saya sendiri
yang masih terbilang awam dalam dunia kepenulisan, menyimak materi yang
disampaikan kedua penulis ini seperti mendapatkan oease baru; back to soul dan charging my mind. Dalam hati pun bergumam, akhirnya setelah lebih 3
(tiga) tahun, ketemu juga (kembali) alasan kuat; kembali tolah-toleh blog dan
mengupdate tulisannya. Iya, mungkin saja ini cara Tuhan menyemai kembali
cinta lama yang sudah lama tak kembali bersemi.
*Penulis Timbul Tenggelam
Keren mas Iqbal, cuma sedikit ada typo tadi..hehe dan mungkin untuk istilah asing di italic, soalnya sering baca buku di italic...hehe mohon dikoreksi kalau salah, saya juga baru belajar...salam literasi
BalasHapusBagus tulisannya. Tapi sekadar ngasih saran, kalo ada kata2 asing lebih baik diitalic ya, Mas. Mari melipir di blog saya, ditunggu jejaknya ya hehe
BalasHapusSuka dengan gaya tulisan Mas Iqbal Themi. Semangat! :)
BalasHapus