Tentang Kereta Api dan Kereta Politik
Oleh.
M. Iqbal Themi*
Pertanyaannya,
kereta mana yang paling mengenakan ditumpangi? Kereta api kah atau kereta
politik? Menjawabnya tentu kita tak bisa melepas dari apa yang disebut fenomena
lapangan. Iya, fenomena yang terjadi pada kedua kereta tersebut secara
kekinian.
Bagi yang pernah mengalami naik kereta api, tentu bisa
membayangkan bagaimana gerbong kereta api itu berjalan. Bermula dari stasiun
sebagai titik awal keberangkatan, menanti penumpang. Penumpang yang telah
memiliki tiket, masuk ke area dimana kereta berada. Lewat pintu masuk dan karcis
diperiksa, oleh petugas.
Setelah berada di area pemberangkatan kereta, tiap
penumpang bergegas mencari gerbong, yang menjadi tempat duduk mereka berada. Setelah
waktu keberangkatan tiba, kereta pun berangkat melaju.
Menyerupai gerbong kereta api, gerbong kereta politik,
yakni partai politik pun demikian. Bermula dari Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai
stasiun keberangkatan. Masyarakat yang memilik hak pilih – setelah mendapat tiket (baca: undangan memilih) – datang ke
Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan hak suaranya.
Setelah kartu undangan diperiksa oleh petugas, pemilih
pun mendapat surat suara. Lalu bergegas menuju bilik suara. Untuk memilih satu
diantara calon anggota (DPR/D & DPD) dan Calon Presiden-Wakil Presiden yang
ada. Dan ketika waktu pemilihan ditutup, petugas pun merekapitulasi hasil
pemungutan suara.
Selang beberapa waktu, setelah semua rekapitulasi dihimpun dari TPS ke KPU (Kab/Kota/Prov/Pusat), maka keluarlah siapa pemenang pemilu. Menjadi anggota DPR/D & DPD serta Presiden-Wakil Presiden. Kemudian dilantik, gerbong kereta politik pun resmi melaju. Memimpin negeri selama lima tahun berikutnya. Begitulah selalu.
Kereta Api
dipuji, Kereta Politik dicaci
Pertanyaannya, kereta mana yang paling mengenakan
ditumpangi? Kereta api kah atau kereta politik? Menjawabnya tentu kita tak bisa
melepas dari apa yang disebut fenomena lapangan. Iya, fenomena yang terjadi
pada kedua kereta tersebut secara kekinian.
Pada kereta api – setidaknya dalam dua tahun terakhir –
para penumpang semakin mengakui enaknya
naik kereta api. Karena, pelayanan dan kenyamanannya yang semakin membaik. Dihapuskannya
kereta api tak ber-AC, penumpang tak bertiket dilarang masuk peron, dihapuskannya
tiket penumpang berdiri, penjualan tiket secara online dan dilarangnya pedagang
asongan berjualan di dalam kereta merupakan bentuk inovasi visioner manajemen
PT KAI. Alhasil, kereta api pun perlahan menjadi pilihan alternative utama para
penumpang. Dan pujian semakin banyak berdatangan.
Lantas bagaimana dengan kereta politik? Jauh panggang
dari api, kereta politik justru semakin dijauhi. Bahkan disebagian penumpang
(baca: Pemilih), telah antipati menumpangi kereta politik. Jangankan hendak
mendapatkan pelayanan dan kenyamanan sebagai penumpang, di kereta politik para
penumpang justru disakiti.
Jika di kereta api, penumpang merasakan betul dampak
dari sebuah inovasi. Maka di kereta politik, para penumpangnya baru bisa ikhlas
saat terus menerus dibohongi. Saat inovasi kereta api berbuah prestasi dan
manajemennya dipuji. Maka kereta politik baru bisa korupsi dan dicaci maki.
Akibatnya, kereta politik pun semakin tak diminati
lagi. Dibeberapa stasiun keberangkatan (baca: Pemilukada) misalnya, jumlah
penumpang (baca: Pemilih) semakin rendah: turun drastis. Karena, memberikan hak
suara telah dirasa sebagai sebuah kesia-sian. Semata memberi izin awak kereta
politik untuk berlaku semaunya. Mementingkan kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Ujung-ujungnya korupsi lagi.
Stasiun 2014
Kini gerbong kereta politik untuk lima tahu silam,
semakin mendekati stasiun pemberhentiannya, yakni stasiun (baca: Pemilu) 2014. Sebelum
kembali berangkat untuk lima tahun berikutnya. Seperti kereta api yang dalam
setiap pemberhentiannya di stasiun – sebelum tiba di stasiun tujuan akhir –
selalu saja ada penumpang yang naik dan turun. Begitupun dengan kereta politik.
Di pemilu, tak semua awak kereta terpilih kembali. Selalu ada wajah baru
didalam gerbong untuk keberangkatan lima tahun berikutnya.
Oleh karena itu, stasiun 2014 adalah kesempatan para
penumpang untuk tidak lagi memilih awak kereta yang menjadi penghianat
penumpang. Dan menggantinya dengan memilih awak kereta yang benar-benar dapat
menjadi harapan penumpang. Bagi awak kereta politik, stasiun (baca: pemilu) 2014
ini, adalah kesempatan menarik kembali minat para penumpang. Tentu dengan
pembuktian akan kerja-kerja politik penuh inovasi, yang dapat melahirkan
kesejahteraan para penumpang (baca: masyarakat) secara luas. Sehingga kelak,
gerbong kereta politik 2014-2019 bukan lagi dicaci melainkan, dipuji dan
dicintai.
Maka inilah saatnya, para awak kereta politik tunjukan
prestasi. Tak perlu malu meniru prestasi kereta api. Bila perlu belajar bersama
dengan manajemen PT.KAI tentang bagaimana berinovasi yang mendatangkan
prestasi.
*Penulis adalah Penikmat Kerja-kerja Intelektual
Mantap nih :D thank gan
BalasHapus