Memanusiawikan Politik


Oleh.
M. Iqbal Themi*

 Mengapa “politik” saat ini menjadi semakin tak manusiawi? Semata identik dengan prosesi perebutan kekuasaan yang culas, kejam dan selalu berakhir dengan happy ending korupsi.  Sebuah pendangkalan makna politik yang demikian parahnya.

 
Tak dipungkiri, saat mendengar kata “politik” banyak orang seketika menjadi sinis. Pikirannya tertuju pada spanduk dan baliho yang terpasang semerawut, arak-arakan masa, saling serang antar masa pendukung, saling jatuhkan dalam merebut/mempertahankan kekuasaan. Para pejabat yang korup, money politic dan hal sejenis lainnya. Akibatnya, “politik” pun semakin hari semakin tak manusiawi. Seolah tak lagi enak didengar, tak lagi pantas diucapkan, juga tak lagi layak dikerjakan. Karena “politik” telah berubah haluan. Bertentangan dengan kodrat manusia sebagai pemimpin semesta alam.

Padahal, hampir tak ada bidang kehidupan yang bisa dipisahkan dengan “politik”. Bahkan ada yang bilang, “semua aktivitas kehidupan adalah aktivitas politik”. Saat “politik hadir membersamai seseorang seringkali nampak lebih bernyawa menjalani kehidupannya. Seorang Ibu menjadi lebih berhemat akan uangnya, ketika “politik” dihadirkan saat tawar-menawar barang belanjaan di pasar. Atau seorang mahasiswa yang terlambat menjadi diperkenankan masuk ruang kelas, setelah berhasil meyakinkan sang dosen akan alasan keterlambatnya. Lagi-lagi politik hadir membersamai.

Lalu, mengapa “politik” saat ini menjadi semakin tak manusiawi? Semata identik dengan prosesi perebutan kekuasaan yang culas, kejam dan selalu berakhir dengan happy ending korupsi.  Sebuah pendangkalan makna politik yang demikian parahnya. Sebabnya, karena pertunjukan lakon para pelaku politik di negeri ini. Mengesampingkan makna filosopis politik sebagai “tata kelola hidup bersama”. Berubah menjadi “kekuasaan pribadi atau kelompok yang utama”.

Maka hari-hari negeri ini pun dipenuhi lakon kenaifan politik. Iya, dunia politik memang dekat dengan kenaifan, ujar Nietzche. Politik ada dalam ranah kekuasaan. Siapa menang, berkuasa. Siapa kalah, pencundang. Habis perkara, sebut Machiavelli. Tetapi tidak demikian menurut Aristoteles, politik merupakan cetusan aktivitas agung dari makhluk yang bernama manusia.

Aktivitas agung adalah makna dari sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan akan kodrat manusia, yakni: kemanusiawian. Didalamnya tersemayam nilai-nilai luhur yang berasal dari Tuhan. Sebagai makhluk sosial yang memadukan nilai humanisme, rasionalitas dan moralitas manusia. Maka jelaslah, alangkah enaknya mendengar, mengucapkan dan mengerjakan aktivitas politik jika para pelaku politik di negeri ini memiliki nilai kemanusiawian. Karena dengan ideologi yang diyakini, para pelaku politik menggagas tata kelola hidup bersama demi kemajuan bersama.

Politik pun berubah menjadi hal yang sangat menarik dan disukai. Bukan lagi terbatas milik para politikus, atau elit penguasa. Tetapi milik semua orang, sejauh orang-orang tersebut berpikir dengan akal budinya: memiliki perhatian, kepedulian, rasa cinta dan sensitifitas untuk terlibat aktif pada tata kelola kehidupan masyarakat disekitarnya.

Masalahnya, akankah para pelaku politik kita merubah lakon berpolitiknya atau tetap tersandera pada kenaifan berpolitik? Hanya kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiawian mereka lah yang akan menentukan. Hadirnya prosesi pergantian kekuasaan 2014 dapat menjadi titik balik bagi para pelaku politik untuk sadar, menjadi manusiawi. Mengingat sikap masyarakat yang semakian antipati terhadap berbagai aktivitas politik para pelaku politik di negeri ini.


*Penulis adalah Penikmat kerja-kerja Intelektual

Komentar