Sekeping Rindu untuk Guru
Mengenang
Indah Guru-Guru Hebat Sepanjang Masa
(Persempahan
Spesial di Hari Pendidikan Nasional 2013 buat para Guru Hebat di SDN 3 marang,
SMPN 1 Bengkunat dan SMAN 1 Pesisir Selantan)
Oleh.
M Iqbal Themi*
Dear my Teacher
Apa
gerangan khabarmu disana guruku? Masihkah kau menjadi pendidik di sekolah hebat
kita? Atau kini kau telah beralih tugas mendidik di sekolah lain? Ah, betapa
lamanya aku tak lagi tahu tentangmu. Sampai khabarmu saja aku tak lagi pernah
tahu.
Guruku,
tentu itu bukan karena aku telah melupakanmu. Karena tanpa perantaramu hidupku
pastilah tak menentu. Sebab ,tak ada ilmu yang menjadi pemandu. Jika pun saat
ini kau tengah merasa aku melupakanmu. Sungguh itu hanya “bisikan” ditelingamu
– yang entah – datangnya dari mana. Namun, hendak membuat kita tak pernah lagi
bisa menyatu. He e
Percayalah,
pada ku. Jika di hati ini nama-nama mu telah terlanjur ku ukir dengan indah. Pakai
tinta emas yang ku ambil langsung dari seberang samudera disana. So, mana
mungkin aku bisa melupakanmu guruku.
Bukahkan,
kau sendiri yang berpesan, agar aku terus dan serius berjuang merebut masa
depan? itu Pesan terakhir yang kau sampaikan dulu, sesaat sebelum kau harus
ikhlas melepas kepergianku dari sekolah kita. Mungkin itulah sebabnya, aku
nampak seperti melupakanmu. Padahal, aku ini tengah serius merebut masa
depanku. Menjalankan apa yang kau pesankan, Guruku. He he he
Oya,
ada yang hampir terlupa guruku. Ada yang hendak ku tanya, bolehkah? Ngomong-ngomong,
kenapa raut wajahmu nampak mendung bukan ketulung, saat hari pelepasan
(perpisahan) kelulusan ku dahulu? Sebegitu sedihkah kau melepasku pergi, guruku?
Kenapa pula kau mesti meneteskan air mata? Apa gerangan yang sedang kau tangisi,
guruku? Ehm,.. Entahlah, aku juga tak pernah mengerti apa terjadi denganmu saat
itu.
Tapi,
tak perlu kau jawab pertanyaanku itu. Karena, aku kini telah tahu jawabannya.
Jawaban dari apa yang menyebabkan mu memasang tampang mendung seharian saat
perpisahan itu. Begitupun dengan tetesan air mata yang membasahi pelipis matamu.
Semuanya,
karena kau bukan saja sedang sedih kehilangan siswa keren sepertikukan? Tapi,
kau juga tengah khawatir bukan kepalang memikirkan apa jadinya nasib ku setelah
lepas dari didikanmu, bukan? Tetap menjadi anak nakal bin usil seperti yang kau
kenal? Atau berubah menjadi manusia baik bin cerdas seperti yang kau harapkan?
***aaaaahhhhhhaaaaaa
Kau
memang aneh guruku, selalu memikirkan hal-hal yang sulit terpikir oleh seorang siswa
dengan usia sepertiku dahulu. Jangankan hendak berpikir tentang nasib, berpikir
apakah sekolah ini mesti berlanjut atau tidak saja sulit ku lakukan kala itu.
Tapi, sekarang aku berterima kasih padamu guruku. Terima kasih telah
mengkhawatirkanku. Karena itu, aku menjadi tahu arti cinta seorang guru.
Guruku,
rasanya hitungan tahun kita tak pernah bertegur sapa. Usiamu kini pasti tak
lagi muda seperti dulu. Sama sepertiku yang kian menua. Saat bertemu dijalan
mungkin saja kita telah “lupa” akan rona wajah yang kita punya. Tapi, ilmu yang
tersimpan di otak ku ini selamanya akan menjadi saksi. Jika kau dan aku pernah
bersama. Iya, bersama dalam satu sekolah, rumah tempat mu mengajarkanku mengeja
angkasa.
Guruku,
tahukah kau ini hari apa? ini adalah hari pendidikan nasional guruku. Hari dimana
seharusnya kau bahagia. Karena, semua orang di republik ini tengah bersemarak
meramaikan peringatan hari “pendidikan” – profesi mulia – yang kau jalani saban
hari. Bukankah kau pahlawan tanpa tanda jasa itu? Maka semestinya, kau yang
paling bahagia saat hari pendidikan nasional ini tiba guruku.
Walau
aku mengerti, seperti katamu dalam mimpi malam itu. Bagaimana mungkin para guru
dapat berbahagia lepas menyambut kedatangan hari pendidikan nasional tahun ini.
Jika sesaat sebelumnya, ada “duka” melanda dunia pendidikan kita. Duka lara carut
marutnya “UN” yang saban tahun mesti kau alami. Menentangkan nurani terhadap
kepentingan para penguasa yang berkeloni. Jika kau tak “mengalahkan” diri, resikonya
kau terdepak dikucili. Sedangkan, saat kau mengikuti, nurani mu terus saja
memberontak tiada henti.
Tapi
sudahlah guruku. Biarkan itu terjadi. Dan biarlah pula itu jadi tanggung jawab
para penguasa negeri ini. Doakan saja kelak mereka taubat dan tak pernah lagi
mengulangi. Aku hanya tak ingin, karena duka latah dunia pendidikan kita,
membuat surat spesial yang ku buat untukmu ini menjadi terkotori. Sebab, lewat
surat ini aku hendak mengenang indah kebersamaan kita selama aku masih
bersekolah dulu. Surat ini spesial ku buat untukmu guruku.
Dan
baiklah, kita mulai saja cerita mengenang indah ini. Tapi, aku akan mengawali cerita
ini dengan sebuah “kemustahilan”. Iya, mustahil sekali rasanya aku dapat
membaca, menulis dan menghitung jika tak pernah bertemu dengan sosok Ibu
Fatiyah (wali kelas 1 SD). Ibu inilah yang saban hari menghabiskan suaranya
mengajarkan ku mengeja B.U.D.I. dan menghitung 1, 2, 3. Bahkan ibu fat lah yang
memberitahu ku jika belajar di kelas itu duduknya “di kursi bukan di meja, nak”.
Kalimat yang masih ku kenang hingga kini. He e
Lalu,
sulit rasanya aku terampil perkalian dan pembagian kalau tak dipertemukan
dengan Ibu Dahlia (Wali Kelas 2 SD) dan Ibu Yulia (Wali Kelas 3 SD). Aku juga
tak akan mungkin mengerti apa itu ilmu pengetahuan sosial dan pengetahuan alam
jika tak dipertemukan dengan seorang Pak Wahyudi (Wali Kelas 4 – 6 SD). Dan aku
juga, pasti tidak pernah tahu kalau berantem di sekolah itu dilarang jika tak
dipertemukan pak hasan (kepsek) dan pak ketut (guru SD). Terima kasih bu fat,
bu dah, bu yul, pak hasan, pak ketut dan semua guru hebat di SDN 3 (5) Marang.
………………………………………………….
Ketika
di SMP, aku pun bangga dapat bertemu
sosok pak Selamat, S.Pd (Guru B.Indo SMP). Dulu beliau inilah yang mengajarkan
ku (baca: kami) bisa menulis indah, merangsang kami semua untuk menyukai
sastra, lewat tugas buat puisi darinya. Maka jadilah sesaat, kami semua (satu
kelas) bak pujangga kepanasan. Riuh saling bersautan puisi yang belepotan. He
e. Tapi, memang sangat mustahil aku akan memiliki hobi menulis dan membaca
seperti sekarang, kalau Allah tidak pernah mengirim orang satu ini mendidik ku.
Pak Selamet jugalah yang mengajarkan kami pertama kali bagaimana caranya
menggunakan computer ketika itu.
Ah,
aku tiba-tiba kangen pada mu pak. Pada lelucon mu yang membuat kami begitu
mudah tertawa lepas. Dimana gerangmu sekarang pak? Khabarnya engkau tak lagi di
SMP kita? telah 7 tahun rasanya kita tak bertemu. Sssttttt, do you know pak? Saya
(murid yang sering bapak nyitak dulu) telah jadi penulis sekarang. Memang baru
punya karya satu buku sih pak. Tapi, Semua ini berkat inspirasi darimu pak.
Lewat pelajaran bahasa Indonesia yang tulus dulu bapak ajarkan. Ehm, pak
andaikan engkau bangga dengan ku sekarang, maka aku jauh lebih bangga pernah
kau didik dahulu pak.
Aku
juga sangat berbangga, pernah dididik oleh sosok hebat bernama bu Lestari, Guru
Matematika yang juga wali kelas ku di kelas 2 SMP. Sosok inilah mengajarkan
banyak hal tentang matematika pada kami. Beliau berhasil membuat matematika tak
lagi menjadi momok yang menakutkan bagi para siswanya. Saat menjelang kelulusan
SMP, pintu “surau” di depan rumah ibu les selalu terbuka untuk ku (baca: kami)
datengi. Dengan tulus pula bu les menjadi pembimbing kelompok belajar kami.
Kalau
dipikir-pikir, kami sebenernya keterlaluan. Disaat malam hari, waktu yang
seharusnya digunakan bu les istirahat tapi kami memintanya – dengan setengah
memaksa – untuk mau mendampingi kami belajar kelompok. Mengerjakan soal-soal matematika
UN SMP. Sungguh, maafkan atas kedzoliman kami saat itu ya bu. Jika mesti dicari
siapa yang bersalah, aku lah yang paling bersalah bu. Karena, aku yang
mengawali ide itu. Aku juga yang merayu temen-temen untuk mau ikut serta belajar
kelompok.
Ada
juga pak Barohman, S.Pd (Pembina Kesiswaan SMP), guru yang dapat dibilang
tergalak di sekolah. Hakim pengadil setiap siswa yang bermasalah. Tapi, jujur
ku akui tak mungkin rasanya aku dapat begitu mencintai kehidupan sebagai
penggiat pergerakan mahasiswa seperti saat ini, kalau tidak terlebih dahulu dididik
oleh pak baroh ini saat aktif di OSIS dan Pramuka SMP dahulu. Ada juga Pak
Mifta (Alm) wali kelas ku saat kelas 3 yang juga guru bahasa Indonesia,
setidaknya dari mu aku belajar tentang ketegaran hidup pak. Ditengah sakit yang
mendera kau masih tetap berusaha mengajar kami. Semoga Allah melapangkan sisi
kuburmu pak.
Lalu,
kecintaan ku dengan pelajaran biologi di SMP (khususnya bab reproduksi J) rasanya tak juga
akan terjadi kalau tidak dipertemukan sama sosok hebat ibu Rini. Guru muslimah
terbaik yang pernah ku temui. Kalau aku ditanya, siapa guru yang tak pernah
marah dan ketika mengajar dengan hati yang pernah ku temui?. Maka aku akan
menjawab Ibu Rini. Sang guru teladan dua periode kala itu. Guru yang selalu
menyempatkan baca qur’an disaat waktu kosongnya. Yang tak pernah marah walau
aku sering buat ribut dikelas. Bu, doakan aku dapat mendamping yang sholeha
seperti ibu ya. Ha ha ha
Terimakasih
Pak Selamet, Ibu Les, Pak Baroh, Pak Mifta, Ibu Rini dan Guru-Guru Hebat SMPN 1
Bengkunat (Ngambur) yang pernah ku kenal dan jug tulus telah memberiku
inspirasi serta pengetahuan: Bu dewi, Pak Agus, Pak Pulung, Pak Seti, Bu Mul,
Bu Neng, Bu Sri, Bu Nisa, Pak Hasan, Pak Heri, Pak Kabul, serta guru hebat
lainnya. Semoga, Allah membalas semua kebaikan bapak/ibu.
……………………………………..
Hidup
ini rasanya indah sekali, Allah begitu tahu apa yang ku mau. Ketika SMA aku kembali
bertemu dengan sosok-sosok tak kalah hebat dari sebelumnya. Iya, sosok hebat
nan unik seperti Sosok Pak Zamintur (guru Matematika SMA) dan Pak Nursyahril
(Guru PKN SMA). Bagi ku mereka bukan sekedar guru sebuah mata pelajaran tetapi
juga guru kehidupan. Betapa tidak, hampir setiap sesi pembuka beliau berdua ini
mengajar, selalu saja diawali dengan kata-kata inspiratif (mencerahkan) walau
dikemas dengan suasana yang sangat cair. Maka ada kerugian tersendiri bagi ku
saat di SMA dulu jika tidak masuk kelas kedua orang hebat ini.
Sebenarnya,
ada satu lagi sosok guru hebat yang sama seperti pak mintur dan pa nur namanya
ibu Siti Muslimah (guru B.Indo SMA). Tapi, nanti ku ceritakan dibagian
tersendiri. Nah, sangat mustahil aku akan mengetahui dengan sebenar-benarnya
dunia itu luas jika tak bertemu kedua orang ini. Ketika mengajar pak mintur tak
kalah hebat seperti ibu les. Tak ada kata sulit dalam dunia matematika ditangan
kedua guru yang pernah mendidik saya ini. Pak Mintur juga lah yang sering
mengingatkan kami dikelas jika aku (baca: kami) sendirilah yang paling
bertanggung jawab atas nasib kami kedepan.
Lain
Pak Mintur lain pula Pak Nur walaupun sama apa maksud dari yang diajarkan. Masih
jelas dalam ingatanku saat belajar PKN ketika itu, pak nur menjelaskan apa itu
pasar bebas. Kata beliau, di zaman kami nanti, sepuluh tahun akan datang
saingan hidup kami tidak lagi antar desa dan kecamatan tetapi sudah antar
negara. Ah, rasa-rasanya apa yang kau pernah katakan tahun 2007 silam kini
mulai ku rasakan pak. Pasar bebas itu telah berwujud. Lebih cepat dari yang
bapak katakan sepuluh tahun.
Dan
Jika diminta memberi tahu siapa guru berusia tua namun berjiwa muda dalam
mengajar? Maka aku menemukan itu ada pada sosok hebat Ibu Siti Muslimah (Guru
Bahasa Indonesia). Usianya boleh melebih 60 tahun, tapi jangan ditanya bagaimana
saat beliau mengajar? Tegasnya bukan kepalang. Aku pernah merasakan sendiri bagaimana
aura ketegasan ibu hebat satu ini. dulu saat masih di kelas 3 SMA, hampir dua
bulan lamanya aku belajar bahasa Indonesia dengannya tanpa ditegur sedikit pun
oleh ibu siti. Setiap kali absensi namaku selalu dilewati, sangaja tidak
dipanggil. Dan kejadian ini memang salahku sih, sudah bolos jam pelajaran
beliau, aku bukannya minta maaf. Malah mengadu sama pak jon (kepsek) kalau aku
tak dibolehkan masuk oleh bu siti karena telat makanya memilih bolos.
Bu,
Ibu siti memang pantes tersinggung dan menghukum ku dulu. Karena ibu pasti
merasa sedang aku domba dengan kepsek kan? Padahal, aku tak berniat demikian bu.
Tapi bu, tahukah gerangan dikau saat aku tidak ibu tegur dan nama ku tak pernah
ibu sebut saat absen selama dua bulan belajar dikelas, itu membuatku seperti
hidup dipengasingan sukamiskin lho bu. Aku hanya bisa mendengar penjelasan ibu
tanpa bisa bertanya dan menjawab. Sebab, jika aku menjawab dan bertanya ibu tetep
kekeh, tak sedikit pun mau menolehku. Yang ada aku hanya dapat malu dengan
temen sekelas. So, jadilah aku si pengamal “diam itu emas” selama dua bulan tak
kau tegur bu. Tapi beruntung aku tak sendirian. Melainkan bersama empat teman
ku lainnya.
Kini
waktu itu telah berlalu. Dan aku tak akan pernah lupa dengan tragedi ini bu. Bukan
karena aku dendam padamu. Tapi, aku takjub dengan pelajaran ketegasan yang ibu
berikan. Cara mu menghukum yang berbeda dengan guru kebanyakan membuat ku
(baca: kami) selalu berpikir bagaimana meluluhkan hatimu. Agar mau memaafkan
kesalahan kami saat itu. Sebuah pelajaran berharga yang pernah ku temui di
dunia sekolah. Terima kasih atas semuanya bu. Termasuk pesan-pesan inspiratif mengingat
akhirat yang senantiasa ibu sampaikan setiap kali hendak memulai pelajaran. Yang
tak pernah ku temui lagi sejak aku berada dibangku kuliah.
Kalau
saat ini aku merasa bahwa dunia “politik” adalah passion hidupku. Sebenarnya, benih itu sudah tumbuh sejak aku masih
berstatus siswa SMP. Sejak saat itu pula aku telah menjadi penggila baca Koran.
Seiring waktu minat ku ini pun kian tumbuh dan berkembang pesat, setelah kenal
dekat dengan sosok yang bernama hebat Bapak Drs. Jon Edwar. Kepala sekolah dengan
disiplin waktu yang tinggi, berkarakter progressif dan memiliki jaringan luas. Dalam
lingkup politik lokal, pengaruh beliau tak diragukan lagi. Aku beruntung bisa
menjadi pengurus OSIS dan ketua MPK saat itu, dengan status itu membuatku dapat
begitu dekat dengan Pak jon. Yang tak ku pungkiri diam-diam aku mencuri ilmu politik
darinya. Pak, semoga kelak kita bisa bertemu dalam satu forum yang kita berdua
sama-sama di daulat sebagai pembicaranya. Mungkin, saat bapak jadi Gubernur
Lampung dan saya Bupati Pesisir Barat kelak pak. He e
Tak
ada yang bisa ku ucapkan untuk saat ini selain terima kasih Pak Mintur, Pak
Nur, Bu Siti, Pak Jon dan Para Guru hebat Smansa Sela yang lain Bunda Lastri,
Bu Neni, Bu Liza, Bu Siti Khodijah, Bu Yunia, Pak Try, Pak Jafar, Bu Sofia, Pak
Bambang, Pak Pur, Pak Ketut dll.
Sungguh,
jika dihitung-hitung secara keseluruhan, ternyata sudah 17 tahun waktuku ku
habisi di dalam pendidikan formal. Dulu Aku hanyalah seorang belia yang masih
buta “membaca”. Berkat tulusnya didikanmu para guruku dari pertama kali aku
duduk di sekolah dasar hingga aku dapat menyelesaikan pendidikan sekolah
menengah atas. Telah menghantarkan ku dapat mengeja dari yang sebatas alif, ba, ta aksara hingga lancar membaca
peta dunia. Semua ini karena jasamu para guruku.
Akhirnya,
di momen hari pendidikan nasional ini dengan segala kerendahan hati aku
hanturkan permintaan maaf atas semua salah yang dulu pernah ada selama menjadi
siswa bapak/ibu guru. Dan terima kasih atas semua ketulusan, cinta dan kasing sayang
yang telah bapak/ibu berikan selama mendidikku.
SELAMAT
HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2013 Guruku. Semoga, Allah senantiasa menyertai
keikhlasan dalam hati bapak/ibu guru sekalian. Sehingga, tak pernah kehabisan
energy untuk mencerah dan mencerdaskan anak negeri. Tak lupa, sampaikan salam
ku pada adik-adik ku di sekolah hebat kita itu. Katakan pada mereka: “Bercita-citalah yang tinggi, bermimpilah
yang besar, reguk madu ilmu sebanyak-banyaknya, belajarlah dari alam sekitarmu,
resapi kehidupan, jelajahi indonesiamu yang luas, jengkali afrika yang
eksoktis, jelajahi eropa yang megah, lalu berhentilah di altar ilmu, Sornonne
Paris”.
*Penulis adalah Mahasiswa Fisip Unsri asal Pesisir Barat, Lampung
*Pernah berskolah di SDN 3 (sekarang 5) Marang, SMPN 1 Bengkunat (sekarang Ngambur) dan SMAN 1 Pesisir Selatan.
***Mimpiku
suatu saat kelak aku dapat mengumpulkan kalian semuanya para guruku, pada suatu
tempat yang indah dan disana aku hanya hendak berujar dari atas podium: “Kalian tak pernah sia-sia mengajarkan ku. Saat
ini, apa yang kalian saksikan denganku, tak lain karena didikan kalian semua
pada belasan tahun silam, wahai para guru hebat sedunia”. Semoga
nice,, jdi kangen masa2 tu.
BalasHapusGood��
BalasHapus