Memahami Fenomena GOLPUT


Oleh. M. Iqbal Themi*

Trend pemilih Golput yang keluar sebagai pemenang dalam beberapa penyelenggaraan pemilukada di Indonesia akhir-akhir ini, sudah seharusnya menjadi kerisauan yang dicarikan solusinya oleh semua stakeholder pemilukada di Sumatera Selatan. Sebut saja persentase 36 % pemilih Golput di Pilkada Jabar lebih besar dibandingkan suara pemenang Aher-Dedy yang hanya 32%. Sementara, di Sumatera Utara angka pemilih Golput sebesar 51.50% menang telak atas suara pemenang Gatot-Erry sebesar 33% dari seluruh total pemilih tetap.

Lantas, bagaimana dengan Sumsel? sebagai gambaran pada pemilukada tahun 2008 silam, sebesar 29% masyarakat sumsel dinyatakan Golput. Persentase Golput tinggi semacam itu pun terjadi di kabupaten/kota yang ada di Sumsel, yang baru-baru ini usai melaksanakan pemilukada. Seperti, pemilukada kota Pagaralam putaran kedua sebanyak 25 %, Prabumulih 23.5%, Muara Enim 23.7% dan yang terbaru adalah pemilukada kota Palembang sebesar 35%.

Lazimnya, dalam menyoroti akar masalah tingginya Golput semacam ini. Selalu yang sering dikatakan sebagai penyebab utamanya, karena tidak mendapatkan undangan pemilu, atau sebagian lagi mengungkapkan apatisme masyarakat terhadap persoalan yang berbau politiklah sebagai penyebabnya. Sehingga, mereka menjadi Golput dalam pemilukada. Benarkah sepenuhnya demikian?

Mengutip apa yang dikatakan Huntington (Gatara, 2009: 207) bahwa prosedur utama dari demokrasi ialah terdapatnya pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang kelak (bakal) memimpin. Dan sebuah negara disebut demokratis bila didalamnya terdapat mekanisme pemilu(kada) secara berkala dan melakukan sirkulasi elite. Yang oleh Dahl (Gatara, 2009: 207) diterjemahkan sebagai gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan di zaman modern.

Dari pendapat yang dikemukan oleh kedua pakar politik tersebut, tentunya telah cukup untuk menegaskan persoalan filosofis mengapa terlibat pemilukada itu penting? Secara teoritis, semakin tingginya angka Golput pada dasarnya selain berpotensi melumpuhkan demokrasi itu sendiri, juga menjadikan mandat yang diberikan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur yang terpilih memiliki legitimasi yang lemah.

Tetapi, persoalan menjadi lain saat masalah ini dibenturkan pada rasionalitas masyarakat dalam memilih (Rational Choice). Masyarakat tak bisa disalahkan sepenuhnya, saat mereka bersikap mana keuntungan dan mana kerugian sebelum memutuskan suaranya akan diberikan kepada kandidat mana. Dengan rasionalitasnya, masyarakat bebas menentukan pilihannya. Demi keuntungan maksimal yang diperoleh.

Seperti kata Olson dan Downs (Efriza, 2012: 515) yang merupakan pelopor lahirnya persepektif rational choice “tidak adanya kemauan mayoritas orang untuk berpartisipasi (memberikan hak suara) bukanlah tanda kebodohan melainkan rasionalitas mereka. Pertanyaan yang akan diajukan individu (baca: pemilih) yang rasional ketika mempertimbangkan apakah akan berpartisipasi adalah “Apa yang saya peroleh dari tidakan partisipasi ini? dan apa yang tidak akan saya peroleh jika saya tidak melakukannya?”.

Dalam perspektif pilihan rasional (rational choice) maupun pilihan public (public choice), memang pemilih diasumsikan secara rasional sebagai individu yang memiliki selera pribadi (self interest) dalam menentukan kandidat mana yang dipilih. Dengan mempertimbangkan besar kecilnya keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari pilihannya tersebut (utility maxmizer). Keuntungan yang dimaksud dalam konteks ini berupa kesejahteraan social yang dapat dirasakan (Rachbini, 2002).

Persoalan Golput dalam pemilukada pada dasarnya adalah persoalan memahami logika berpikir rasional masyarakat dalam memilih. Semakin mampu para stakeholder pemilukada, khusunya penyelenggara dan peserta pemilukada dalam memberikan keuntungan maksimal yang diinginkan para pemilih, akan semakin memberikan jaminan angka Golput dapat diminimalisir. Dan biaya pemilukada pun tak ditekan menjadi lebih rendah.


Kandidat dan Parpol tak Menarik

Pada dasarnya, masyarakat kita lebih menyukai “konten” apa yang bisa diperoleh dari pemilukada. Ketimbang bagaimana “konteks” pemilukada itu berlangsung. Konten inilah keuntungan maksimal yang diinginkan oleh masyarakat dalam menentukan pilihannya. Dan persoalan konten ini juga yang nampaknya terlupakan oleh para kandidat dan parpol yang tengah bertarung dalam pemilukada Sumsel. Tapi, bukan berarti penulis hendak mengatakan “koteks” pemilukada tidak penting bagi masyarakat kita.

Adanya anekdot “ambil uangnya dan jangan pilih orangnya” merupakan bukti bahwa kecenderungan pemilih lebih pada konten ketimbang konteks. Kalimat tersebut juga sekaligus menggambarkan kecerdasan rasionalitas pemilih. Uang yang diambil atas pemberi pihak kandidat tentu mendatangkan keuntungan pribadi bagi masyarakat yang menerima. Tapi, dilain sisi mereka juga sadar bahwa pemberian uang dalam pemilukada demi mendulang suara adalah hal yang tidak dibenarkan.

Realitas semacam ini, sudah seharusnya menjadi bahan pikiran para kandidat dan parpol dalam menyajikan atraksi merebut simpati rakyat. Sudah saatnya pula para kandidat dan parpol yang bertarung dalam pemilukada mengubah atraksi kampanyenya. Dari atraksi yang bak Drama pada Film Korea. Dari luar nampak bagus dan mempesona, begitu dekat dan mencintai rakyat saat berkampanye. Tapi, menghilang dan tenggelam saat pemilukada usai dilakukan.

Belum lagi ditambah dengan kemasan atraksi saling umbar klaim data kuantitatif keberhasilan memimpin. Berlomba-lomba menjadi yang terbanyak menebar spanduk dan baliho disepanjang jalan. Tak lupa untaian kata-kata indah sebagai tigeline kampanye pun digalakkan. Seolah menjadi kata sakti yang dapat menyelesaikan semua masalah masyarakat di Sumsel. inilah bentuk rutinitas yang senantiasa tersaji dalam tiap kali penyelenggaraan pemilukada di Indonesia.

Bagi pemilih yang rasional sajian atraksi semacam ini jelas tak lagi menarik. Selain karena merasa telah bosan kemasan dengan atraksi yang ada, masyarakat merasa tak ada keuntungan (baca: manfaat) yang bisa didapat. Bagi kandidat yang keluar sebagai pemenang, memang lebih diuntungkan. Sebab, punya kesempatan untuk membuktikan kemasan dari atraksinya sebagai sebuah keseriusan atau drama picisan.

Kemasan berkampanye inilah “konteks” yang rasional dimanfaatkan oleh masyarakat pemilih. Untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Salah satu bentuknya, mengundang para kandidat untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan di daerahnya. Mulai dari hanya sekedar syukuran hingga yang bersifat melakukan pembangunan. Sebisa mungkin harus menghadirkan para kandidat. Dengan harapan mendapatkan bantuan yang sebesar-besarnya dari sang kandidat.

Bahkan bagi sebagian masyarakat momentum pemilukada dianggap sebagai momentum mendulang rezeki. Sementara, demi mendulang suara para kandidat dan parpol rela melakukan apa saja. Termasuk memenuhi semua yang diinginkan masyarakat tadi. Walau minim dari misi pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat. atau walau harus menabrak aturan main yang ada.

Salahkah pemilih, kandidat dan parpol berbuat demikian? Tidak ada yang salah. Karena itulah kehidupan politik. Namun, bukan itu kontens yang sebenarnya dari kehidupan politik. Seperti kata Aristoteles (Riyanto, 2011: 36), Politik adalah ilmu yang “agung”. Punya kedudukan yang sangat mulia, karena merangkum semua aspek kehidupan manusia. Sebagai, Ilmu yang agung berkedudukan mulia maka sudah semestinya praktek-praktek  berpolitik (baca: kampanye) yang dijalankan, dapat mencerahkan dan mencerdaskan.

Maka pada dasarnya tak terlampau sulit untuk mencari hilir dari maraknya money politic dalam pemilukada. Yang bermuara pada mahalnya biaya pemilukada. Semua terdapat pada persoalan kemasan “kontek” yang ditampilkan para kandidat dalam mendulang suara. Sementara, “konten” berpolitik yang sejatinya alat untuk mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat seperti kata aristoteles terlupakan. Salah satu bentuknya adalah pendidikan politik bagi masyarakat.

Sudah seharusnya, para kandidat dan parpol yang bertarung dalam pemilukada Sumsel lebih memperhatikan “konten” berpolitiknya. Menyentuh sisi rasionalitas masyarakat melalui pendidikan politik yang menghadirkan pencerdasan bagi masyarakat luas. Tak semata demi mendulang suara, namun juga bagian dari itikad menggugah kesadaran, meningkatkan derajat pengetahuan hingga melakukan pemberdayaan masyarakat kita.

Terbangunnya kesadaran masyarakat akan peran dan fungsi dalam kehidupan bernegara sejatinya lebih mahal harganya ketimbang kekuasaan. Dengan kesadaran yang dimaksud, harapannya lahir kembali sikap tanpa pamrih masyarakat dalam kehidupan bernegara. Memilih kandidat bukan karena keuntungan uang yang bisa didapat sesaat namun karena keuntungan kesejahteraan yang bisa dirasakan berkelanjutan.

Dan semua ini hanya mungkin terwujud, jika para kandidat dan parpol punya itikad yang ikhlas mengawali perubahan dalam cara berpolitiknya. Berpolitik yang lebih memperhatikan “konten”. Berpolitik yang menyajikan pencerahan dan pencerdasan. Jadi, dapat disimpulkan persoalan Golput dalam pemilukada tak semata karena persoalan administrasi dan apatisme semata, melainkan persoalan memahami pilihan rasional (rational choice) masyarakat.


*Penulis adalah Pengamat Muda Politik
 

Komentar