Mengurai akar gejala Post Power Sindrom ADK
Post
Power Sindrom (PPS), sebuah gejala stagnasi atau penurunan menukik yang terjadi
pada pribadi seseorang pasca ia terlepas dari semua macam atribut, status
sosial, jabatan dan sebagainya yang sebelumnya di emban. Sebenarnya gejala PPS
semacam ini bukan hanya mendera para aktivis mahasiswa semata. Di tataran elite
struktur kenegaraan sekalipun hal semacam ini tak luput juga terjadi.
Pada
kesempatan kali ini saya hanya mencoba mengurai berbagai penyebab yang melatari
belakangi timbulnya gejala semacam ini. semua berdasarkan pengalaman,
pengamatan, diskusi bersama teman mengenai dinamika yang terjadi secara
langsung. Jadi alur penulisan opini ini lebih menyerupai laporan jurnalis
ketimbang karya tulis ilmiah.
Sebelumnya
mengurainya lebih lanjut, sebenarnya lumrah saja jika seorang aktivis dakwah
kampus (ADK) misalnya, tiba-tiba menghilang dari jagat pergerakannya karena
masa amanah yang di pegangnya telah usai. Sesuatu yang rasional jika ini
terjadi sebagaimana fatsun gerakan yang mengharuskan terjadinya pola
regenerasi. Tetapi hal yang menarik untuk kita jadikan bahan diskusi adalah
ketika ada “embel-embel” lain yang menjadi penyebab PPS ini selain usainya masa
amanah tadi. Dan problem ini nampaknya yang harus menjadi pekerjaan rumah para
elite dakwah kampus untuk segera mencarikan solusinya. Jika tidak maka yang
terjadi adalah stagnasi regenerasi dan kekakuan gerakan di tataran elite DK itu
sendiri. hal ini setidaknya yang terjadi di kampus Unsri.
Pertama,
Trauma Persepsi. Harus di akui bayangan hampir sebagian besar para ADK saat
masih menjadi pelaku lapangan di tataran wajiha paling bawah terhadap para
elite-nya (baca: senior) adalah orang-orang yang luar biasa, punya kualitas
diri dan kemampuan gerakan di atas rata-rata. Bayangan semcam ini akan terus
ada di benak para ADK tadi hingga para ADK ini memasuki dan menduduki posisi strata
sosial sebagai elite pula.
Problemnya
baru akan hadir saat ADK yang telah menjadi elite tadi mengetahui track record sesungguhnya dari para
elite pendahulunya. Merasakan kontras yang sangat mendalam antara persepsi high quality yang ada di benak dengan
kenyataan aslinya. Sehingga anega ragam pembenaran dan kebenaran pun tak pelak
bertebaran jungkir balik dan dijual sebagai nilai dan rul model dengan makna
tersirat hal fundamental yang wajib diteruskan dan dibudidayakan. Alhasil, pola
regenerasi yang berhasil dijalankan hanya mampu menukar posisi SDMnya saja,
dari yang tua beralih ke yang muda. Sedangkan, segala macam jenis transformasi
ilmu, kreativitas, inovasi dan sebagainya tak ubahnya seperti dedaunan dan
rumput ditengah musim kemarau. Hidup enggan mati segan.
Kedua,
Megalomania Elite. Ini adalah sindrom berupa perasaan merasa besar diri karena
posisi strategis yang dipegang. harus di akui juga sebagian besar dari ADK yang
notabenenya elite DK itu sendiri kerap kali muncul perasaan jumawa yang sangat
akut antara senior dan junior misalnya. Walaupun di tataran praksis, klise yang
kerap disampaikan tidak ada senioritas dalam DK tetapi kenyataan yang ada
setidaknya dalam proses dialetika gagasan sangat kental terasa keberadaan
keduanya. Seperti, sikap anti kritik, fair play, sungkan menerima hal baru
diluar kelaziman walaupun itu baik, status quo, menyenangi budaya kerja lama,
kedewasaan dalam berpikir, bersikap dan bertindak serta yang lainnya. Pada,
semua kondisi seperti ini sangat kental terasa penyakit megalomania elite ini
selalu kambuh dan pergi.
Ketiga,
Kontrasnya idealita dan realita. Ini sebenarnya lebih kepada rendahnya
kepercayaan yang diberikan oleh elite kepada alit ADKnya. Banyak fakta lapangan
ditemukan bagaimana idealita yang berhasil dipadukan oleh para alit ADK
tiba-tiba berasa hambar saat pembahasan berada di level elitenya. Penyebabnya bukan
karena para alit ini tidak memahami aturan main yang harus di jalankan seperti
apa. Kadangkala sikap tidak bisa menghargai hasil kerja alit turut menjadi penyakit
sendiri yang hinggap di kepala para elite DKnya. Adanya perspektif elite DK
yang lebih mementingkan kepentingan strata sosial ketimbang kebutuhan lapangan
kerap kali menjadi pemicu ketidak bisaan menghargai hasil kerja para Alite.
Akumulasi
dari ketiga hal diatas akan menghantarkan para ADK berada pada titik jenuh akan
semua kondisi yang ada apalagi jika ditambah keringnya tautan ukhuwah. Alhasil saat
waktu untuk pergi dari amanah tiba seketika pun menghilang, menjauh dan
berusaha keras untuk melepaskan diri dari semua hal yang menjenuhkan tadi.
Iya,
itulah hipotesa saya saat ini yang menjadi pemicul lahirnya gelaja PPS. Perlu ditegaskan
kembali ketiga hal tersebut hanya berdasarkan pengalaman, pengamatan dan
diskusi saya bersama rekan sesama ADK baik yang seangkatan dengan saya atau
mereka yang berada di atas saya. Bukan berdasarkan penelitian ilmiah yang kaya
konsep teoritis. Penulisan opini ini harapanya dapat menjadi pemantik untuk
bersama-sama berdealitika mencari obat paling ampuh menghalau penyakit PPS yang
hadir karena faktor embel-embel bukan habisnya masa amanah. Bersambung.
Jalan,
3/10/12
Oleh: MIT.
Penulis adalah Penggiat DK Unsri
Komentar
Posting Komentar
Sebelum meng-Klik "Publikasikan" Komentar anda, silakan terlebih dahulu pilih nama ID anda di menu pilihan "Berikan Komentar sebagai"....