Pukul Satu


Oleh. M. Iqbal Themi


Waktu baru menunjukan pukul satu,
Saat siang bukanlah dini hari,..
Sedangkan, Petang masihlah jauh untuk datang,
Tapi, Engkau telah bergegas,..
Menghimpun semua perkakas kepunyaanmu
Lalu, kau pun pergi terburu-buru
Dan bertepi,…

Aku muda sempat bertanya padamu,
Apa gerangan yang membuatmu terburu-buru?
Kenapa kau himpun perkakasmu?
Sedangkan waktu masih pukul satu,
Bukankah musim gugur masih jauh berlalu,
Dan ini belumlah waktumu untuk bertepi,…

Sejenak kau diam, lalu kau jawab tanyaku dengan senyuman,..
Aku bergumam ada apa gerangan,..
Apa yang sedang terjadi padamu,…
Lalu kau pun berjalan,..
Menghampiri segenggam bara yang tersisa,..
Kau tunjukan bara itu pada ku,.. lalu berkata,..
Inilah merah bara api yang merona,
Bara yang mampu melahap ilalang berhektar-hektar luasnya,..
Saat musim panas tiba,..

Lalu apa masalahnya tanyaku,..
Kau malah balik bertanya, kau tahu ini musim apa?
Musim panas, kataku,..
Dan itulah masalahnya, sambungmu,,,,

Ini musim panas, tapi ilalang masih berdiri kuat berkibar,..
Tak ada bara yang melahapnya,..
Sedangkan, musim hendak berganti,..
Tanah ini sudah akan diolah yang lain lagi,..
Tuan tanah pun sudah hendak angkat kaki,
Berganti dengan Tuan Tanah yang baru,..
Sedangkan tanah ini masih saja dipenuhi Ilalang…
Bara yang ada Nampak mati dalam sekapan,..
Katamu panjang padaku,…

Lalu, Siapakah yang salah? Tanyaku lagi
Bara yang terlihat mati dalam sekapan,
Ataukah ilalang itu teramat keras hingga bara pun tak sanggup melahapnya,..
Atau mungkin tanahnya yang sedang tergenang air,… timpal ku,..

Lalu, kau jawab,… Entahlah,..
Bara, Ilalang dan Tanah semuanya hanyalah benda mati,…
Semuanya menjadi tak berarti jika diusik oleh tangan yang hidup.
Ketiganya tak lah bisa menghadirkan alunan irama bermakna,
Apa lagi jika dipetik oleh orang yang tak pandai bermain musik,.. lorohmu.

Ini memang masih pukul satu,
Seperti katamu ini siang bukanlah petang,..
Tak lazim orang pergi bergegas disaat matahari masih terang.

Tapi bagi ku pukul satu justru waktu yang tepat,
Untuk pergi bergegas dan menghimpun perkakas,
Bukan karena aku tak sanggup mengolah tanah berilalang itu,
Tapi aku hanya tak ingin terusik oleh tangan yang membuatku tak produktif,
Lalu waktu menghunus dan memvonisku tanpa makna.

Pukul satu adalah saat yang tepat bagiku,..
Ada waktu panjang tersisa, sebelum petang datang menghampiri,
Masih tersimpan kesempatan pada waktu itu, untukku
Jika tak ada bara yang dapat disekap,
Jika tidak ada ilalang yang sukar dilahap,
Apalagi tanah yang terkenang oleh air,
Semuanya dapat berpadu membentuk alanunan irama bermakna.
Asalkan semuanya terolah jauh dari tangan yang suka mengusik, lalu merusak,..
Apalagi tangan yang tak pandai musik.
Begitulah katamu meyakinkanku.

Sejenak aku berdiam,..
Lalu aku berkata: Kini Aku yakin padamu, kawan.
Pergilah sebelum pukul satu ini berlalu.
Singsinglah lengan bajumu, karena engkaulah mutiara itu bagiku,..
Pergilah nun jauh ke sana,..
Susuri alvatar kehidupan lalu reguklah madu ilmu seluas-luasnya

Keyakinanku,..
Pada Bara, Ilalang dan Tanah itu akanlah sangat bermakna bagi kehidupan, kelak di tanganmu
Apalagi jika kau sinari dengan cahaya mutiara yang kau punya.
Namun, Pesanku janganlah pernah kau tinggali dendam pada tangan yang kau bilang mengusik… Pada tangan yang mengahruskanmu terburu-buru pergi pada pukul satu,…
Tapi cukup kau retas saja semua tali yang mengikat antara tanganmu dan tangan-tangan itu.
Lalu cukupkan saja semuanya berakhir, end.


Diam, 8/9/12

Komentar