HARGA DIRI yang ter-taruh

Oleh. Iqbal Themi
Ditengah - tengah keasyikanku menyelesaikan tulisan naskah bukuku, tiba-tiba saja terlintas ide untuk menuliskan tulisan ini. Entah ide ini mulanya hadir dari mana, tapi memang sejak aku mengisolasi diriku, kembali berkutat dengan rutinitas baca tulis seperti yang pernah ku lakoni dulu saat masih berada di semester satu hingga empat dan lima.
Kerap kali didatangi oleh ide-ide yang menuntutku untuk mencurahkannya dalam bentuk rangkaian kalimat berbentuk tulisan.

Aku sengaja mengisolasi diriku, karena ketakutanku jika dihadiri rasa jumawa lalu menjadi kepribadian dan mengubah persepsi serta orientasiku dalam bergerak menjalankan setiap amanah organisasi yang ku sandang. Harapanku, aku tetap bisa berjalan diatas kepribadian pribadi dengan kapasitas pemahaman yang ku punya. Tanpa perlu meniru, mengikuti apalagi merubah identitas diri. Karena seperti itulah jalanan tarbiyah mengajariku.

Aku penuh dengan kesadaran yang ada, aku bukanlah seperti kebanyakan aktivis dakwah kampus lainnya, yang bertemu dengan tarbiyah lalu berkecipung dalam aktivitas dakwah mungkin sejak dari dalam rahim kandungan ibunya atau setidaknya sejak masih berusia sekolah. Usia tarbiyah dan keterlibatanku dalam dakwah tidaklah beda dengan usiaku menjadi mahasiswa dikampus, usia yang masih sangat belia untuk ukuran usia seorang anak manusia. Empat tahun.

Maka jelaslah jika aku tidak semengerti mereka yang bertemu dengan tarbiyah lalu terlibat dalam aktivitas dakwah sejak dari dalam kandung atau saat masih usia sekolah. Mulai pemahaman terhadap tarbiyah dan harokah, amal yaumi, hingga lainnya aku masihlah harus berjuang ekstra keras nan kebut untuk menyamai para aktivis itu yang sebagian merupakan para sahabatku. Iya, Aku mesti belajar lebih dengan mereka, karena timpangnya ilmu yang ku punya jika dibandingkan dengan mereka, walaupun kami seusia. Cita-citaku kelak setidaknya aku bisa memiliki ilmu dan keimanan sedalam mereka. Syukur jika bisa melebihi.

Sejak pertama kali bertemu dengan tarbiyah lalu menyelami lautan harokah aku begitu antusias. Karena ini dunia baru bagiku. Ku akui memang aku begitu menyukai tantangan dan selalu menghadirkan rasa ingin tahu pada setiap hal baru yang ku temui. Begitupun dengan tarbiyah/harokah yang perlahan membawaku untuk mengerti kenapa kita terlebih lagi sebagai aktivis dakwah mesti berteguh dengan prinsif, karakter dan pemikiran. Ibarat cahaya yang memberikan kilaunya pada jagat raya. Maka keteguhan terhadap prinsif, karakter dan pemikiran pun demikian adanya. Ketiganya tak lain ialah kilauan dari cahaya yang ada. Sedangkan cahaya itu sendiri ialah tarbiyah.

Berawal tarbiyah ku dapati bekal untuk berharokah. Teringat kata Umar bin Abdul Aziz ra: “barang siapa yang beramal tanpa didasari ilmu maka unsur merusaknya lebih banyak dari unsur kemaslahatannya”. Inilah yang ku pahami mengenai hubungan lekat antara tarbiyah dan harokah. Maka, dari sini perlahan aku susun puzzle prinsif ku berupa nilai-nilai yang menjadi idealismeku, rambu-rambu jalan untukku saat berharokah. Apalagi kampus menjadi tempat paling steril bagiku untuk menyemai idealisme. jadilah aku asyik memupuk idealismeku.

Aku memang susah bahkan tidak pernah bisa bersepakat saat berharokah ada hal yang mengusik zona prinsifku tadi. Disinilah aku kerap di labeli berwatak keras, bahkan Tak jarang aku pun harus menerima predikat egois dan sejenis lainnya. Akan semua yang aku dapati itu, aku pun legowo saja menerimanya. bagiku toh Tuhan maha tahu apa yang tersembunyi di dalam diri para hamba-Nya saat sedang be-rtegas atau ber-keras.

Memang tidaklah salah saat berharokah landasan yang kita gunakan ialah sisi manfaatnya. Atas nama “manfaat” kita beramal sebanyak-banyaknya. Namun, bukankah lebih baik saat beramal dengan atas nama “manfaat” tadi kita lakukan dengan terorganisir sebagaimana kosep amal jamai yang kita pahami?. Bukankah banyak fiqh prioritas dan fiqh realitas yang bisa menjembatani kita ketika berhadapan dengan persolan pelik nan buntu yang seolah tak bisa diselesaikan?.

Sehingga kita beramal bukan hanya sebatas atas nama “manfaat” saja, namun lebih dari itu ia juga atas nama “kebutuhan”,  “keterdesakan” dan yang paling pokok atas nama “ilmu” serta “iman”. Bukankah nyata kata Allah SWT: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya berbaris teratur bagaikan bangunan yang tersusun kokoh (QS. Ash-Shaff: 4).

Inilah nilai-nilai tarbiyah yang telah menyirami hatiku sejak empat tahun yang lalu. Ia telah menjadi landasan bagiku dalam setiap berpikir dan bergerak. lalu tarbiyah juga memberi ku tahu bahwa Pondasi aplikasinya itu ialah kedisiplinan. Bangunannya ialah amal jamai, sedangkan atapnya ialah kedewasaan. Wujud ketiga tak lain berupa: kecepatan bergerak (progresifitas), visioner, terbuka, percaya, jama’i, hingga sigap dalam berpikir, bersikap dan bertindak.

Sejatinya, apa yang ku tulis ini bukanlah bentuk paripurnanya pribadiku. Namun, semua itu tidak lebih ialah nilai-nilai tarbiyah yang aku tahu dan pahami. Yang ku dapati dari setiap ruang dan waktu, dimana tarbiyah hadir di dalamnya mulai dari taujih, dauroh hingga rutinitas pekanan yang aku jalani bahkan tidak sedikit apa yang ku tulis ini adalah hasil diskusi panjang kali lebar hingga mencapai luas dengan sesama sahabat aktivis dakwah kampus, mulai dari yang seusia hingga yang lebih tua dariku.

Sedangkan, aku tidak lebih sedang belajar menjalaninya. Dan konsisten menjadi rintangan terberat yang tertatih ku lewati, begitu rasaku. wallahualam 


Catatan:
Tulisan tidak bermaksud menggurui. hanya celotehan untuk sekedar berbagi. Ku persembahkan tulisan ini untuk kakak, adik dan sahabat yang pernah ku temui di jalanan tarbiyah ini, yg mengenalku, hingga yang pernah bersama dg ku di satu organisasi.

Komentar