NESTAPA JALANAN

Oleh. Iqbal Themi

Masih begitu kuat dalam ingatan ku saat pertama kali ketika akan menginjakan kaki menjadi bagian dari kapal ini ini. Tak ubahnya seperti masa karantina sebuah audisi, aku dibina dan dikasihi. Namun diselanya ada jenuh, bosan hingga perasaan menyesal hadir di hari-hari pertama kedatangan ku itu. Tak jarang perasaan ingin pergi dan beralih pada kerata lain pun kerap menghantui.
Iya,.. karena apa yang ku cari namun tidak ku temui di awal kedatangan ku pada kapal ini.

Itulah momen dimana aku merasakan suka dan duka pada Dauroh Marhalah 1 (DM 1) Akbar Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Se-Sumatra Selatan. Masih begitu jelas juga dalam ingatan ku akan niatan utama ku memilih kapal ini tak lebih aku hanya ingin belajar “Aksi” dan menjadi sang demonstrasi. Itu saja tidak lebih. Namun pada kenyataan saat dikarantina 3 (tiga) hari aku diajari tentang agama bukan tentang aksi. Aku pun kecewa sebagai bentuk rasa manusiawiku.

Selesai dari masa karantina itu aku lampiaskan rasa kecewaku dengan memilih juga kapal-kapal (baca: Organisasi) lainnya. Namun entahlah 3 (tiga) bulan ditahun pertama ku sebagai seorang yang baru di kampus ini membuatku belum juga menemukan kapal yang nyaman sebagai tempat berlayar, berteduh, mengaih kasih, dan berbagi senyuman. Entahlah,… Walau ketika itu beberapa kapal telah coba ku masuki dan ku ikuti proses karantinanya. Tapi tetap saja aku belum juga menemukan kapal pilihan hati ku.

Jalanan panjang untuk mencari dan menentukan pilihan kapal sebagai tempat berlayar akhirnya menghantarkan ku kembali pada KAMMI menjadi kapal Ghuroba ku. Maka Ku mulailah perjalanan hidupku bersama KAMMI. Lagi-lagi bak karantina pada ajang kompetisi pencarian bakat di televisi aku dibina dan dikasihi. Lalu aku pun mengenal siapa diri ku? Jati diriku telah ku temui.

Masih juga Nampak dalam ingatan ku saat pertama kali harus belajar dan diajar tentang cara mengeja mulai dari sekedar mengeja aksara hingga peta dunia, sekedar mendengar cerita para pencerah hingga memadu kasih bersama tarbiyah semua ku dapat disini bersama kapal ini. Hingga jadilah aku seperti yang ku mau. Bertumbuh dan berkembang laksana sekuntum bunga yang kemudian mekar dan menebarkan semerbaknya.

Tanpa ada yang menduga kapal yang ku tumpangi seketika terhenti, tak ada aral yang melintang, ombak ditengah lautan pun masih terlihat tenang, badai sama sekali masih enggan untuk datang, tiba-tiba saja nahkoda kapal ku harus diganti. Karena sang nahkoda tidak lagi menjadi nahkoda. Ia harus di mutasi menjadi pilot pesawat terbang. Dalihnya karena sebuah kebutuhan dakwah yang lebih besar.

Mungkin saja kesannya terdengar aneh nahkoda berubah menjadi pilot. Tapi nyata inilah adanya. Tak pelak kapal yang ku tumpangi pun berkuncang keras, jeritan histeris kegamangan para penumpang semakin menjadikan kapal ku tak lagi stabil, Beberapa awak kapal lain mencoba mengambil kendali kapal hanya untuk menjaga agar kapal tidak karam ditengah lautan lalu mencari dermaga untuk melakukan pelabuhan darurat.

Akhirnya tepat pada tanggal 27 Februari 2011 kapal yang ku tumpangi berhasil melakukan pelabuhan darurat pada sebuah dermaga. Sejenak beristirahat, pelabuhan darurat pun di sakralkan untuk melakukan pemilihan nahkoda kapal yang baru. Karena bagaimana pun kapal ini akan tetap melaju, maka ia jelas sangat membutuhkan nahkoda baru.
Tak ada mimpi yang datang sebagai sebuah pertanda, seketika para awak kapal pun membaiat ku untuk menjadi nahkoda yang baru. Menggantikan nahkoda yang telah menjadi pilot. Maka jadilah aku sang nahkoda kapal yang baru. Ditengah guncangan kapal yang belum berlalu.

Namun, bagaimanapun kapal ini harus tetap melaju. Tak boleh terhenti hanya karena hentakan ombak yang itu bukan tsunami. Sejenak ku lihat awak kapal yang tersisa. Aku bisa jadi lebih beruntung dengan nahkoda sebelum ku. terlihat di daftar awak kapal yang ada lebih banyak jumlahnya. Lalu Bersama mereka ku gantungkan asa merebut cita-cita.
Tetapi aku tak seberuntung dengan nahkoda sebelumku. Ditengah jalan kapalku kembali berkuncang. Beberapa awak kapal yang ada kena rongrong. Kekuatan tim yang ku bangun tertumpu pada semangat yang menggelora. Belum seimbang memang dengan kemampuan yang mereka punya bagaimana cara berlayar ditengah lautan. Tapi itu adalah tugasku sebagai nahkoda.

Perlahan kapal pun kembali bergerak, sebersit senyum harapan menghiasasi para awak. Sebuah keoptimisan akan kemampuan menggerakan sang kapal. Dan kapal pun melaju menembus batas normalnya. Hingga sampailah pada batas waktu tugas ku akan berakhir sebagai nahkoda. Nasib ku sama dengan nahkoda kapal sebelumnya. Diminta kembali menjadi awak pesawat.

 Prahara kembali datang mengguncang diakhiri sebuah perjalanan kapal di masaku. Sebuah realita yang tak pernah ku harapkan kedatangannya. Namun, aku harus menerima akibat dosa sebagai nahkoda yang tak pernah ku sadari sebelumnya. Sebuah pil pahit di akhir perjalananku bersama sang kapal. Kembali Histeris beberapa awak tak bisa terbendung. Ditengahnya kami sematkan doa mohon ampunan akan semua dosa. Sulit memang untuk memutuskan. Tapi estapet harus beralih.

Dalam sebuah pengharapkan kami hasilkan keputusan. Namun, realita menentang. Keputusan berbuah tanda Tanya. hingga datang yang nyata dari-Nya. Nahkoda pun beralih. Tugasku berakhir sudah. Ku titipkan semua cinta, cita dan harapan perjuangan sang kapal pada semua awak selanjutnya. Kini dari kejauhan aku saksikan kapal itu terus melaju dengan kenjangnya. Sebongkah keoptimisan nampak ku saksikan dari para awak yang menyertainya. Aku pun yakin Kapal itu akan menembus batasnya mengapai semua cita-cita dan pengharapan. Hingga kelak mengarsiteki sebuah peradaban. Walau pun aku bukan pejuang yang menggapainya. Namun sebuah kebanggaan aku pernah berada ada di kapal ini kawan.


Sunyi, 20/5/12

Komentar