Dauroh: Formalitas atau Substansi?
Oleh: Iqbal Themi
(Tulisan ini dimuat dalam media online beritadakwah.com tanggal 10 Mei 2012)
Bisa dipastikan tidak
ada aktivis dakwah kampus (ADK) yang tidak mengetahui arti kata dauroh.
Secara bahasa dauroh bisa bermakna pelatihan atau pembinaan. Dauroh diadakan
guna menjaga kader tetap dalam nuansa iman islam dengan pemahaman semakin
meningkat. Pelaksanaan dauroh disesuaikan pada sasaran kader dakwah yang
menjadi peserta. Setiapnya ada tingkatan dauroh. Tak ubahnya bentuk pelatihan
lain yang memiliki tingkatan.
Dalam organisasi
dakwah, dauroh menjadi salah satu agenda utama dalam pembinaan yang tidak
tergantikan. Hal ini karena memang dauroh sangat penting peranannya dalam
putaran laju roda dakwah. Diantaranya, menjadi pencegah maraknya virus taqlid
(ikut-ikutan) yang menjangkiti sebagian ADK. Dengan mengikuti dauroh para ADK
akan faham akan hal yang sebelumnya belum dipahami. Sesuai firman Allah “Sungguh
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (QS.Asyam: 9).
Namun, problem dauroh
akan muncul ketika pelaksanaan dauroh tidak bisa menghasilkan apa-apa. Tidak
ada perubahan yang terjadi pada ADK seperti yang menjadi harapan para peng-create
dauroh. Memang bukanlah sikap yang adil jika mengkambing hitamkan apalagi
menghakimi pelaksanaan dauroh semata sebagai penyebabnya. Butuh semangat dan
kesungguhan dari para ADK merupakan modal dasar tercapaian targetan dauroh.
Masalahnya ialah bagaimana para ADK akan antusias mengikuti dauroh jika pelaksanaan dauroh tidak terlalu memperhatikan konten dari dauroh itu sendiri. Perlu dipahami peserta dauroh dalam hal ini ADK berangkat dari latar belakang, disiplin ilmu, karakter, pola pikir yang satu sama lain berbeda. Tetapi semuanya berharap yang sama yakni meningkatnya pemahaman hingga meningkatnya keimanan.
Masalahnya ialah bagaimana para ADK akan antusias mengikuti dauroh jika pelaksanaan dauroh tidak terlalu memperhatikan konten dari dauroh itu sendiri. Perlu dipahami peserta dauroh dalam hal ini ADK berangkat dari latar belakang, disiplin ilmu, karakter, pola pikir yang satu sama lain berbeda. Tetapi semuanya berharap yang sama yakni meningkatnya pemahaman hingga meningkatnya keimanan.
Perbedaan yang melekat
pada para ADK ini kurang tepat menurut hemat penulis jika dilakukan
generalisasi dalam transformasi pemahaman dalam pelaksanaan dauroh. Dan ini
yang terjadi di lapangan pada saat pelaksanaan dauroh. Sebagai penyelenggara
atau panitia kita kerap lebih diributkan dengan setting tempat, tata
tertib dauroh, pemeriksaan wajibat dan sejenis lainnya. Tetapi begitu
jarang, jika tak ingin dikatakan tidak pernah, kita (panitia/penyelenggara)
terlibat dalam diskusi dialektika gagasan yang dalam untuk mencari formulasi
terbaik bagaimana caranya agar semua peserta dauroh bisa mendapatkan ilmu yang
maksimal sepulangnya dari dauroh.
Berlalunya satu materi ke materi berikutnya seakan menjadikan kita semakin merasa ringan akan tugas sebagai panitia dauroh. Kita mungkin hanya sebatas "mengawal" materi demi materi itu hingga selesai semuanya. Ketika dauroh ditutup secara resmi dengan doa penutup majelis, kita beranggapan tugas telah dilaksanakan sepenuhnya. Jika ini yang terjadi, jangan salahkan peserta dauroh berseloroh: "membosankan".
Berlalunya satu materi ke materi berikutnya seakan menjadikan kita semakin merasa ringan akan tugas sebagai panitia dauroh. Kita mungkin hanya sebatas "mengawal" materi demi materi itu hingga selesai semuanya. Ketika dauroh ditutup secara resmi dengan doa penutup majelis, kita beranggapan tugas telah dilaksanakan sepenuhnya. Jika ini yang terjadi, jangan salahkan peserta dauroh berseloroh: "membosankan".
Bahwa Dauroh merupakan
sarana belajar bagi para ADK untuk menambah pengetahuan, tak perlu kita
perbantahkan. Tetapi bukan berarti kita mengabaikan makna mulia dari belajar
itu sendiri. Meminjam istilah Ignas Kleden dan Andrias Harefa belajar itu
memiliki kategorisasi berupa belajar tentang dan belajar menjadi.
Ketika Belajar
tentang, kita hanya mengetahui ilmu yang kita pelajari, tidak lebih.
Namun, saat belajar menjadi maka kita tidak sekedar menjadi tahu
tetapi juga mampu bahkan bisa saja ahli. Inilah filosofi
pembelajar. Misal: belajar tentang cara merekrut maka kita hanya sebatas
mengetahui cara merekut. Namun, tidak menjamin kita menjadi bisa
merekrut. Karena menjadi bisa merekrut merupakan proses belajar menjadi.
Kaitannya dengan
dauroh, hemat saya ia merupakan sebuah ajang pembinaan, bukan pelatihan.
Hakikat dari pembinaan ialah pembelajaran. Sedangkan makna dari pembelajaran
ialah belajar menjadi. Ouputnya berupa kemampuan dalam bentuk life
skill. Jika dauroh merupakan sebuah pembinaan (pembelajaran) maka sudah
seharusnya output dari dauroh ialah lahirnya kader yang memiliki kemampuan (life
skill). Jika itu tercapai, di sini substansi dauroh menurut hemat saya
telah dilaksanakan.
Namun ketika dauroh
dimaknai sebuah pelatihan yang terjadi outputnya hanya sebatas mengetahui,
pelaksanaan dauroh tak lain hanya sebuah formalitas dari agenda rutin sebuah
pembinaan (kaderisasi). Kering dari muatan semangat dan tekad keingintahuan.
ADK yang menjadi peserta dauroh bisa jadi telah mengetahui semua materi dauroh. Tetapi adakah yang menjamin jika para ADK tersebut telah memiliki kemampuan (life skill) untuk mengaktualisasikan materi yang telah didapat? bukankah tantangan realitas lebih membutuhkan kader dakwah yang memiliki kemampuan ketimbang sekedar mengetahui?
Andaikan setiap pelaksanaan dauroh yang menjadi mainstream berpikir para ADK hanya sebatas mengetahui maka tak heran jika pasca-dauroh tidak ada progress perubahan yang terjadi pada kita atau skala yang lebih besar perubahan pada dakwah kampus kita. Dan juga tidak mengherankan kalau dauroh menjadi sepi peminat karena orientasi mengetahui bisa digantikan dengan cukup membaca buku atau bertanya pada para ustad.
ADK yang menjadi peserta dauroh bisa jadi telah mengetahui semua materi dauroh. Tetapi adakah yang menjamin jika para ADK tersebut telah memiliki kemampuan (life skill) untuk mengaktualisasikan materi yang telah didapat? bukankah tantangan realitas lebih membutuhkan kader dakwah yang memiliki kemampuan ketimbang sekedar mengetahui?
Andaikan setiap pelaksanaan dauroh yang menjadi mainstream berpikir para ADK hanya sebatas mengetahui maka tak heran jika pasca-dauroh tidak ada progress perubahan yang terjadi pada kita atau skala yang lebih besar perubahan pada dakwah kampus kita. Dan juga tidak mengherankan kalau dauroh menjadi sepi peminat karena orientasi mengetahui bisa digantikan dengan cukup membaca buku atau bertanya pada para ustad.
Sebagai penutup, saya
ingin menyampaikan semua ini memang soal persepsi. Tetapi sebuah proses berawal
dari persepsi lalu berujung pada manis atau tidaknya hasil yang didapat. Wallhualam.
Komentar
Posting Komentar
Sebelum meng-Klik "Publikasikan" Komentar anda, silakan terlebih dahulu pilih nama ID anda di menu pilihan "Berikan Komentar sebagai"....