Meneropong Stabilitas Kawasan Politik di Mesir

Oleh. M. Iqbal Themi (Mahasiswa Public Policy FISIP Unsri, Semester hampir akhir)
Ditulis tanggal 10 Februari 2011

Kurang lebih 2 (dua) minggu sudah masyarakat dunia disuguhi oleh atraksi pergolakan mesir. Pergolakan yang terjadi di mesir saat ini khusus bagi masyarakat Indonesia setidaknya mengingatkannya pada tragedi yang sama di tahun 1998 di Indonesia.
ketika masyarakat Indonesia saat itu dengan people powernya berhasil menumbangkan rezim Soeharto yang telah berkuasa begitu kuat hingga 32 tahun.


Bisa jadi apa yang dirasakan rakyat mesir saat ini sama dengan yang dirasakan rakyat Indonesia di tahun 1998 yakni berada pada puncak kejenuhan terhadap system pemerintahan dan kepemimpian yang dinilai otoritarian. walau sejatinya apa yang terjadi di mesir saat ini bukan terinspirasi dari people powernya indonesia tapi bermula dari masuknya hembusan ruh Tunisia yang mampu menumbangkan rezim Zine El Abidine Ben Ali yang telah berkuasa 23 tahun di tunisia. Rakyat mesir sekaan mendapatkan suntikan ruh pergolakan yang maha dahsyat untuk menumbangkan rezim Mubarak yang telah tiga dekade menancapkan kekuasaannya di Mesir.

Pergolakan politik di Mesir akan sangat jelas berdampak global. Tidak hanya sebatas ruang lingkup mesir saja, tapi juga kawasan timur tengah bahkan dunia sekalipun akan ikut terkena imbasnya, hal ini tidak berlebihan mengingat posisi strategis yang dimiliki mesir di dunia kawasan timur tengah. Mesir, yang dikendalikan pemerintahan moderat dengan Husni Mubarak sebagai pusat dan inti kekuatannya. Harus dipahami sebagai stabilisator kawasan. Baik bagi benua Afrika sendiri maupun kawasan Timur Tengah pada umumnya.

Bagi kedua kawasan tersebut, factor dan peran Mesir sangat signifikan. Mubarak dikenal sangat kompromistis dengan Barat yang memang memiliki banyak kepentingan di dua kawasan itu. Bukan rahasia lagi bahwa sejumlah pemerintahan yang di cap garis keras di kedua kawasan itu kurang harmonis dengan Mubarak dan pemerintahannya. Boleh jadi, pergolakan yang mengarah revolusi di Mesir saat ini menjadi momentum yang ditunggu-tunggu semua elemen anti-Mubarak di kedua kawasan itu. Apalagi tanda-tanda kejatuhan Mubarak nampaknya hanya menunggu waktu saja.

Karena itu sejak awal Kairo mulai dilanda demonstrasi menjatuhkan Mubarak, semua pemimpin moderat di berbagai belahan bumi tampak sangat nervous dan cemas menyikapi guncangan politik yang terjadi di Mesir. Amerika Serikat (AS) seperti yang disampaikan Barack Obama dalam pidatonya mengharapkan agar transisi yang terjadi di Mesir adalah Transisi damai. ini tentunya menjadi indikasi jelas bahwa Amerika Serikat saat ini sedang mencari posisi Aman.

Hal ini semakin diperkuat dengan sikap politik AS yang mendua, dengan mendorong Husni Mubarak untuk tidak lagi mencalonkan diri dalam pemilihan presiden mendatang. Belakangan Perdana Menteri Inggris ikut bicara lantang dengan mendesak pemimpin di Kairo untuk mau mendengar Aspirasi rakyat Mesir. Berarti mendesak Presiden Mesir Husni Mubarak untuk mundur dari jabatan presidennya saat ini juga. Sementara PBB hanya sedikit bergeming dengan hanya mendesak  semua pihak di Mesir agar lebih menahan diri agar tidak jatuh korban jiwa lebih banyak lagi.

Sementara itu pihak yang paling gelisah diantara yang gelisah dan paling tidak nyaman diantara yang tidak nyaman dengan pergolakan politik di Kairo adalah Israel. Kairo dibawah kepemimpinan Mubarak tidak hanya moderat tapi juga kompromistis. Dalam rentang waktu yang sangat panjang, Kairo dan Tel Aviv nyaris tak pernah lagi terlibat dalam pertikaian politik. Dalam banyak inisiatif perdamaian antara Israel dan Palestina, Kairo tak pernah konprontatif. Kairo bahkan terkesan mengamini saja semua proposal yang disodorkan Israel dalam menghadapi Palestina. Kalau boleh secara terbuka membantu Mubarak saat ini, Tel Aviv pasti akan habis-habisan untuk melindungi para kerabatnya di Kairo.

Ekonomi global pun akan mendapatkan ekses dari guncangan politik di Mesir. Factor Terusan Suez sangat signifikan bagi lalu lintas barang dalam perdagangan internasional. Tentu akan sangat merepotkan jika Suez tidak lagi kondusif untuk dilalui oleh-oleh Kapal-kapal bermuatan komoditas perdagangan itu.

Dengan demikian, jika terjadi perubahan kepemimpinan di Mesir dalam waktu dekat ini, dampaknya sangat jelas. Utamanya adalah mengubah konstelasi politik di sebagian belahan Afrika dan kawasan Timur Tengah. Kemungkinan inilah yang harus dikalkulasikan dengan cermat oleh AS dan sekutunya termasuk juga Israel.  Begitu pun pemerintahan-pemerintahan garis keras di Timur Tengah.

Pertanyaannya adalah Siapa yang akan menggantikan Mubarak? Dan, Ke arah mana Kiblat politik pemimpin baru mesir kelak?. Kelompok yang kerap kali di lebeli sebagai kelompok Garis Keras tentu sangat berharap muncul pemimpin baru yang tidak “Tunduk” pada sentiment yang diinginkan Barat dan Israel. Sebaliknya Israel, AS dan Sekutunya yang lain dipastikan sangat berharap bahwa kepemimpinan baru Mesir bisa melanjutkan apa yang sudah dibangun Mubarak. Dua kekuatan ini sangat berkepentingan karena telah menjadi dua peta kekuatan tersendiri. Di bawah permukaan, dua kekuatan itu akan bertarung untuk memberikan dukungan bagi Mesir untuk mendapatkan pemimpin yang baru manakala Mubarak Lengser.

Namun, pada akhirnya, mayoritas rakyat Mesir-lah yang akan menentukan siapa pemimpin baru mereka. Katakanlah rakyat Mesir sudah jenuh karena dipimpin Mubarak selama tiga dekade. Rakyat Mesir menghendaki reformasi atau mungkin revolusi pada semua aspek kehidupan mereka adalah sebuah keinginan yang wajar saja. ***M.I.T

Komentar