Ketika cintaku berlabuh pada mu KAMMI
Oleh. Iqbal Themi (ditulis tanggal 10 Juni 2011)
tertempel pada madding mushola di kampusku fakultas ilmu social dan ilmu politik Unsri. Tepatnya ditahun 2008 silam saat gelarku masih seorang mahasiswa baru. Ketika itu aku dan temen-temenku baru saja usai dari pertemuan asistensi matakuliah agama islam (AMKAI) atau istilah kerennya ialah mentoring dengan seorang kakak tutor kami bernama kak chuzairin yang belakang kutahu beliau juga ternyata seorang aktifis KAMMI.
Ada ekspresi yang berbeda, sebongkah rasa berwarna terasa hingga selaksa cinta bercahaya saat lagi-lagi ku baca lima patah kata nama organisasi itu. Wajar saja karena itu lima patah kata penuh makna bagi kebanyakan pengikut dan pengagumnya. Namun bagiku empat diantaranya terkesan kata biasa, biasa terdengar oleh telinga dan biasa terlihat oleh mata. Hanya satu kata diantaranya yang telah menghantarkan ku untuk merubah selera. Kata itu ialah “Aksi.
Entah aku pun tak terlalu tahu mengapa jika kata “aksi” lebih mempesona dimata dan menarik hati untuk berulang dibaca ketimbang kata lainnya. Aku begitu bergembira saat kutanya dengan kakak tutorku tentang organisasi lima kata itu, jika kelak bergabung aku akan banyak belajar tentang cara bermain kejalan raya sembari menggenggam toa dan sesekali meneriakan “Hidup Mahasiswa” ujarnya.
Pastinya sangatlah pas dengan jiwa mudaku yang penuh semangat dan cita-cita menggelora dijiwa dan membongkah didada apalagi jiwa mudaku sedikit banyak tak bisa ku pungkiri sangatlah suka pada berkata kritik dan propoganda. Maka jadilah aku sang pemilik jiwa yang akan mengembangkan talentanya. Tanpa banyak cerita saat itu jua kuputuskan saja untuk bergabung di organisasi lima kata itu (KAMMI). dengan meminta bantuan sang kakak tutorku untuk mendaftarkan ku pada panitia penerima.
Waktuku tak banyak untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengikuti latihan pembuka yaitu Dauroh Marhalah 1 (DM1) namanya, karena aku didaftarkan dihari akhir bukan pertama maka jadilah aku tidak mengikuti Pra DM1 bersama seperti kebanyakan temen-temenku yang lainnya. Konon katanya hukumnya wajib mengikuti DM1 bagi setiap mahasiswa yang ingin memiliki status menjadi kader atau anggota. Setelah ku sempurnakan statusku dengan DM1 maka sahlah aku menjadi angota KAMMI yang muda.
Ikut DM1 tiga hari lamanya jangan dikira aku mendapatkan suka cita, sebaliknya yang ada hanya badan capek, sakit hingga rasa kecewa, akibat keseringan push up oleh panitia sebagai hukuman untuk kami yang melanggar katanya walau sebenarnya kesalahan kami banyak sengaja dibuat ada oleh panitia. Kekecewaan ku sangat besar terasa saat yang kucari tak ada. Ialah belajar aksi dijalanan raya seperti yang sering dilakukan banyak mahasiswa di televisi yang lihat, aku kecewa karena ternyata ikut DM1 full belajar agama (dulu lho).
Sementara aku lebih ingin belajar diskusi, mengkritik, propaganda, menulis opini hingga sekedar mencaci pemerintah atau orang-orang penting negeri ini yang ku anggap salah. Jadi aku bergabung di KAMMI hanya ingin menjadi Demonstran Sejati tidak lebih, sungguh. Sama sekali tak ada bayangan di pikiran ku jika bergabung di KAMMI akan menjadi Da’I apalagi aku sama sekali tak berniat menjadi Da’i.
Keputusan ku bergabung di KAMMI bukanlah sebuah pilihan yang mengedepankan cara berpikir rasional tapi lebih pada muatan emosional yang dominan. Karena lagi-lagi niatku bergabung di KAMMI tak lain untuk menjadi Demonstran yang akan sering turun kejalan. Aku ingin menjadi orang yang pandai mengkritisi, menganalisis, hingga memberi solusi karena dari sinilah ku yakin jiwa politisi ku akan terasah, tapi sayang beribu sayang aku tidak mendapatkan apa yang kuharapkan di kencan pertamaku dengan KAMMI dalam Dauroh Marhalah 1 (DM1).
haaaaa????
BalasHapus